Blogger Widgets All About Us..: November 2015

Jumat, 27 November 2015

Syair Lagu di 30 Hari


Aku terkejut melihat sosok yang sedang berada di depanku saat ini. Wajah blasteran campuran Jawa dan Jepang itu terus menerus melihat ku. Hidungnya yang mancung seperti jambu monyet, pipinya yang tirus dan iris matanya yang coklat bening mampu mengalihkan dunia setiap orang yang memandangnya. Aku tersadar entah sudah berapa lama aku tertidur selama pelajaran kimia berlangsung. Hari ini aku kurang sehat, sepertinya akan demam. Mungkin karena terlalu lama mandi hujan kemarin. Sosok itu terus memandangku. Kini dia tampak bingung seperti bocah lima tahun yang disuguhkan soal kimia mengenai ikatan atom. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa akibat tidur pulasku selama pelajaran kimia tadi, sosok yang tepat tiga jengkal didepanku itu mulai membuka mulutnya.
“Sudah puas memandangku,hah?” Katanya dengan senyuman yang mampu membuat jantungku copot
“Aku tak memandangmu. Jangan GR!” jawabku sambil memajukan bibirku dua centi
Dia hanya tersenyum dan tak menggubris ucapanku. Dia adalah sahabatku, Adrian. Adrian Hirosima Wijaya. Namanya memang unik. Perpaduan antara nama Jawa-Jepang dan terkesan sedikit “memaksa”, tapi tidak dengan sifatnya. Kami ibarat ikatan ion, dia adalah ion positif sedangkan aku tentunya ion negatif. Sifat kami berlawanan 180 derajat. Dia adalah seorang yang murah senyum, baik hati dan memiliki jiwa sosial yang tinggi dan aku terkenal sebagai perempuan yang cuek, tomboy dan kekanakan. Wajar saja, jika setiap kami berjalan berdampingan, ada saja tatapan tajam dan cemoohan yang keluar dari mulut orang – orang. Tapi karena memang aku spesies yang cueknya sudah mengalahkan Reaktor Atom, jadinya aku tak mempermasalahkan hal tersebut. Tapi dari semua sifat negatif yang aku punya, ada satu kebanggan yang patut diacungkan jempol untukku. Di kelas bahkan di sekolah, aku adalah salah satu siswa berprestasi. Semua orang mengenalku sebagai ratu kimia. Aku memang menyukai pelajaran itu bahkan kadang – kadang pembicaraanku sampai menghubung- hubungkan berbagai hal mengenai reaksi kimia. Ya, pun Adrian mengatakan padaku bahwa aku sudah gila karena kimia. Biar sajalah toh kita hidup di negara demokrasi, bukan?
“Tumben kamu tidur pas pelajaran kimia? Seorang Andara yang biasanya dijuluki ratu kimia bisa tidur pada saat pelajaran favoritnya. Hahaha” tawa Adrian padaku
“Aku kan juga manusia. Tidak selamanya tubuhku selalu sehat, Dri. Kau tahu lah, akibat main hujan hujanan kemarin aku jadi seperti ini. Mungkin mau demam atau flu kali ya” Jawabku
“Kau sakit? Biar aku antarkan ke dokter, ya? Aku takut sakitmu akan bertambah parah”
“Kau mendoakan agar aku sakit selamanya, hah? Biar saja. Nanti juga sembuh sendiri setelah minum obat dan beristirahat”
“Kalau begitu kita pulang saja. Biar aku yang mengantarkanmu sampai ke rumah.” Pinta Adrian padaku. Kemudian ku balas dengan anggukan tanda setuju. Namun, belum sampai didepan pintu keluar kelas, ada dua orang kakak kelas menghampiriku dan Adrian. Mereka adalah salah satu dari personil Band Air Max yang terkenal di sekolahku.
“Hey, kau kan yang bernama Andara Elleana Subiantoro? Beruntung sekali kita bertemu disini” kata salah seorang dari mereka yang kutahu namanya Aldo Baskara dari nametag yang tertera pada seragamnya
“Iya kak. Memangnya ada keperluan apa kakak datang ke kelasku?” tanyaku pada Kak Aldo
“Kami hanya memastikan saja gadis yang ditaksir oleh temanku.” Jawabnya
“Apa maksudnya kak? Aku nggak ngerti”
“Sudahlah, nanti kau akan tahu sendiri. Kalau begitu kami pamit dulu ya Andara. Semoga kita bertemu lagi.” Lalu kak Aldo dan teman-temannya pergi tanpa penjelasan yang tak ku mengerti. Aku lihat Adrian hanya menggeleng tanda tak mengerti dengan kedatangan kakak kelas ku itu.

*****

Sesampainya di rumah langsung ku rebahkan badan sembari meregangkan otot-otot ku yang kaku di atas kasur yang telah menemani ku sepuluh tahun terakhir ini. Mataku mulai terpejam dan otakku memaksa mengingat kejadian demi kejadian yang terjadi hari ini sampai pada akhirnya aku sudah terbang ke alam mimpi.
*****

Minggu pagi merupakan minggu balas dendam untukku. Karena seharian ini aku terbebas dari semua tugas sekolah dan bisa menghabiskan waktu bermalas – malasan ataupun tidur di kasur seharian.
“Surga banget kalau setiap hari adalah hari minggu. Jadi aku bisa melakukan apa saja yang aku suka. Tapi sepi juga sih kalau seharian tidak bertemu Adrian. Mungkin karena aku sudah soulmate lama sama dia.”
Lalu kupencet tombol dial pada handphone ku. Aku memutuskan untuk menelepon Adrian untuk mengajaknya jalan hari ini. Jujur, walaupun hari ini minggu tapi kalau tidak ada yang bisa dilakukan akan membuatku terasa suntuk
“Hallo, Dri. Eh, kamu ada kerjaan nggak hari ini? Temeni aku ke toko buku, yuk”
“Waalaikumsalam, Ra. Kamu kebiasaan ya nggak pakai salam dulu kalau menelepon aku” jawabnya dari seberang sana
“Hehe. Maaf.maaf. aku tadi antusias banget mau ngajakin kamu jalan. Aku suntuk banget di rumah seharian.” Gerutuku padanya
“Bagaimana keadaan mu, Ra? Kamu sudah baikan?” tanyanya
“Sudah kok. Seperti kataku kemarin, hanya dengan obat dan istirahat sudah cukup bagiku. Lalu, bagaimana dengan ajakanku? Kau mau kan, Dri?” Bujukku pada Adrian.
Terdengar helaan nafas panjangnya. Adrian selalu tak bisa menolak setiap ajakanku. Adrian akan bersedia menemaniku kemanapun aku pergi. Adrian selalu tahu dengan sifat memaksa ku dan sabar menghadapinya. Aku jamin, siapa saja yang menjadi pacarnya kelak, sangat beruntung memilikiAdrian.

*****

Aku mulai menyusuri rak demi rak di toko buku ini. Aku masih belum tahu akan membeli buku apa, tapi sepertinya novel karya penulis-penulis terkenal memberikan magnet yang kuat padaku. Ku lirik satu persatu novel yang berada di rak paling atas sampai bawah. Ada segelintir nama penulis favoritku di beberapa novel yang terpajang di rak buku tersebut. Karena sibuk membaca, aku sampai tak sadar bahwa ada seseorang yang tengah melirik ku.
“Maaf mbak, boleh saya meminta novel itu? “ pinta pria itu padaku. Aku masih saja melihat novel yang masih berada di tanganku. Sampai akhirnya dia menyapaku untuk yang kesekian kalinya
“Oh maaf, ya mas. Saya sampai terperangah melihat novel ini. Jujur, ini novel favorit saya mas. Dari beberapa bulan lalu saya sudah menunggu penerbitan buku ini. Mas tadi mengambilnya di rak bagian mana ya?” tanyaku
“Novelnya sudah habis mbak, tinggal satu itu. Saya juga dari dulu sudah menunggu novel ini keluar. Ternyata kita memiliki selera sastra yang sama” jawab pemuda itu dengan senyuman termanis yang mungkin ia miliki. Aku mulai tersadar dari adegan demi adegan yang terjadi antara aku dan dia. Aku baru menyadari bahwa aku tak sengaja mengambil novel tersebut dari tangan pria itu dan langsung membacanya. Aku memang kehilangan akal kalau sudah seperti ini.
“Maaf ya mas, ini novelnya saya kembalikan. Mungkin belum rezeki saya” senyumku miris
“Terima kasih mbak. Semoga novelnya akan segera dicetak kembali ya” jawabnya tulus

Dengan langkah gontai akhirnya aku berhasil membeli dua buah novel berbau kimia. Tetap saja walaupun cerita fiksi tapi aku tidak bisa lepas dengan hal yang berkaitan dengan kimia. Aku kembali teringat mengenai novel tadi. Novel yang berjudul “Musikimia” yang menceritakan tentang perjuangan empat sekawan dalam mendirikan band mereka. Novel yang sudah kutunggu lebih dari sebulan yang lalu
*****

Hari ini ku langkahkan kaki ke sekolah. Tenaga ku sudah kembali pulih. Badanku juga sudah sehat. Dengan riang aku berjalan menyusuri lorong sampai ke sekolah. Jalanan masih saja menyisakan genangan air selepas hujan semalam. Baunya saja masih dapat kucium. Ada tetesan air hujan yang jatuh dari dedaunan yang kulewati. Aku seperti bocah kemarin sore yang dengan girangnya memainkan gemercik air yang jatuh dari daun-daun yang tertiup angin, sampai aku tak sadar bahwa aku nyaris menabrak sesorang yang berdiri didepanku
“Maaf, mas. Saya tadi nggak ngelihat kalau ada mas disini” jawabku kaget
“Tidak apa-apa, mbak. Toh saya tidak tahu kalau ada orang yang berjalan ke arah saya. Saya juga sibuk menelepon sampai tidak terdengar ada langkah kaki yang berjalan” katanya sembari menenangkan kekagetan dirinya
“Mas, bukannya yang kemarin di toko buku, kan?” tanyaku penasaran
“Eh, mbak yang kemarin?” tunjuknya padaku
“Kenapa kebetulan sekali kita ketemu disini,ya. Omong-omong, kenalin nama saya Abimayu” jawabnya sambil mengulurkan tangannya padaku
“Andara” jawabku dengan senyuman paling manis yang aku punya. Entah apa yang terjadi padaku. Bagaikan efek fotolistrik yang menyerang, aku seperti tersengat oleh pancaran elektron ketika pria dihdapanku ini disinari oleh senyum yang nyaris membuat jantungku berhenti berdetak.
Hubunganku bersama Abimayu semakin hari semakin akrab. Kami sering berkomunikasi lewat telepon ataupun di berbagai media sosial. Sifat Abimayu yang dewasa membuatku semakin nyaman tiap berada didekatnya. Lalu, bagaimana dengan Adrian? Ah, aku nyaris melupakannya. Sampai saat ini aku belum mengatakan tentang kedekatanku dengan Abimayu. Aku takut dia marah padaku dan berfikir aku tak peduli lagi dengannya.
“Kamu kenapa , Ra? Melamun aja.” Tiba-tiba suara Adrian mengangetkanku.
“Aku nggak apa-apa, Dri. Lagi ingin melamun aja, sih. Emangnya nggak boleh?” kataku sambil menjulurkan lidah padanya. Adrian hanya membalas dengan senyuman. Dia selalu saja sabar menghadapi sifat kekanakanku
“Andara, Andara. Ini ada surat untukmu!”
“Dari siapa, Nin?” tanyaku pada Nina.
“Entahlah, tadi aku melihat surat ini sudah ada di atas mejaku. Pas aku lihat ternyata ada nama kamu, makanya aku langsung kesini untuk memberikannya padamu.” Jawab Nina, teman satu ekskulku. Nina memang tidak sekelas denganku. Tapi aku cukup akrab dengannya. Lalu ku buka perlahan surat yang sudah berada di tanganku. Ku baca kalimat demi kalimat. Ku coba pahami maksud dari kalimat tersebut dengan seksama. Sampai akhirnya aku mengerti isinya. Itu adalah sepotong syair lagu dari band kesukaanku. Dibawah syair lagu tersebut tertulis huruf  “A” yang menjadi inisial orang yang mengirimkan surat itu. Adrian yang sedari tadi melihatku tampak penasaran.
“Surat dari siapa, Ra? Sepertinya kau kaget sekali membacanya.” Tanyanya
“Aku juga nggak tau dari siapa. Tapi ada inisial “A” di bawahnya. Apa mungkin ini dari pengagum rahasiaku ya ,Dri?”jawabku sambil menggaruk kepala ku yang tak gatal
“Kau percaya diri sekali,Ra. Bisa saja itu orang isengkan?”
“Tak mungkin orang iseng sampai begitu tahu dengan band dan lagu favoritku.”jawabku misterius

*****
Sudah dua minggu , surat – surat dari pengagum rahasia itu terus berdatangan. Sepucuk surat merah jambu yang berisi syair lagu kesukaanku. Aku masih penasaran siapa yang mengirimkannya. Bahkan, surat itu datang bersamaan dengan bunga mawar putih ataupun boneka panda yang lucu. Ini bukan hanya orang usil yang sengaja membuatku penasaran, tapi ada seseorang yang memang lagi menyukaiku. Mungkin saja kak Aldo atau temannya yang katanya naksir sama aku atau bisa saja Abimayu. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal ini tanpa diketahui banyak orang?
Hubunganku dengan Abimayu terus saja mengalir dan ia mulai menunjukkan sikap bahwa dia menyukaiku. Tapi sampai saat ini belum ada pernyataan cinta padanya. Aku pun tak terlalu memikirkannya. Adrian pun sepertinya tidak begitu curiga padaku yang telah menyimpan rahasia ini darinya. Aku merasa sangat bersalah kalau harus membohonginya, tapi disisi lain aku tidak ingin menyakitinya. Semoga saja ia memaklumi dan menerima alasanku ini.

*****

Sudah hampir sebulan ini aku terus saja mendapat surat yang berisikan syair lagu band kesukaan ku. Dan sampai saat inipun aku masih belum menemukan siapa pengirimnya. Aku terus menerus memperhatikan bait demi bait syair dalam surat pengagum rahasiaku
Saat dirimu
Terhangut dalam seri yang kau rasakan
Seperti mendung hitam
Cobalah engkau sadari
Bahwa hidup ini terlalu indah
Untuk ditangisi
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Lagu ini memiliki makna terdalam. Kala aku sedih atau sedang galau, biasanya aku memutar lagu ini di play list handphone. Aku benar – benar berterima kasih kepada orang yang telah mengirimkan syair lagu ini dalam bentuk surat. Seperti ada energi positif untuk kehidupan seorang Andara.
Aku berniat memberitahukan mengenai hubunganku dengan Abimayu pada Adrian. Mungkin hari ini lah saat yang tepat memberikan kabar bahagia bahwa aku telah resmi berpacaran dengan Abimayu. Aku ingin sekali berbagi dengan sahabatku itu. Tapi sepertinya aku tak melihat Adrian bersekolah hari ini. Apa mungkin dia sakit? Tapi dia tak memberitahukan ku seperti biasanya jika dia berhalangan hadir. Ku lirik meja di samping yang kosong akan keberadaan seseorang yang selalu menemani dan mendengarkan keluh kesahku. Apa yang terjadi padanya? Padahal aku baru saja akan memberitahukan kabar bahagia ini padanya. Sesaat ku rogoh kolong meja dan menemukan sebuah surat merah jambu. Surat ini dari pengagum rahasia itu lagi, tapi kali ini isinya bukan potongan syair lagu melainkan pernyataan cintanya. Dalam surat itu, sang pengagum rahasia akan memberitahukan jati dirinya sebenarnya. Sepulang sekolah aku langsung pergi ke tempat dimana dia memberitahukan keberadaannya. Tapi ada yang aneh dari cara menulisnya, dia menyuruhku datang ke sebuah rumah sakit dan membawa semua surat-surat yang dia kirimkan untukku. Lekas ku pacu vario pink ku ke rumah sakit yang dituju. Sesampainya disana aku kaget melihat ada Abimayu yang berdiri mondar mandir sambil memegang pelipisnya. Dia melihatku dan sama kagetnya denganku. Apa mungkin memang Abimayu yang selama ini mengirimkan surat-surat itu? Segera ku hampiri Abimayu yang tampak tercengang dengan kedatanganku.
“Kenapa kau disi, Dara?” tanyanya
“Aku seharusnya yang bertanya padamu. Apa kau yang telah mengirimkan semua surat – surat ini padaku selama satu bulan terakhir?” kataku sambil memperlihatkan surat-surat merah jambu itu padanya. Abimayu hanya menggeleng kebingungan. Jelas dari raut wajahnya bukan dia tersangkanya. “Aku ingin bertemu dengan orang yang mengirimkan surat ini, Bi.” Jawabku
“Lalu siapa orangnya?”
“Di dalam surat ini dia menyuruhku untuk datang ke rumah sakit ini dan memberitahukan siapa jati dirinya sebenarnya. Aku benar – benar penasaran,Bi. Menurutmu siapa?” tanyaku balik pada Abimayu. Tampak dia sedang berfikir keras. Selang beberapa menit dia mulai membuka mulutnya
“Atau jangan-jangan yang mengirim surat-surat itu....” kalimatnya menggantung dan membuatku semakin penasaran. Aku benar-benar butuh Adrian saat ini untuk membantuku. Tapi sudah puluhan kali aku meneleponnya, tapi tak ada jawaban.
“Lebih baik kau masuk saja,Dara. Kau mungkin akan menemukan jawaban.” Jawab Abimayu. Aku lantas bingung. Mengapa Abimayu menyuruhku untuk masuk ke ruangan yang tertulis ICU itu. Dengan rasa takut bercampur penasaran, akhirnya ku langkahkan kaki masuk ke dalam. Aku melihat sosok tubuh yang terbujur kaku dengan selang yang mengitari hidung dan pergelangan tangannya. Dari jauh wajahnya tak asing bagiku. Dengan lamban, kuhampiri sosok yang sedang berbaring dengan berbagai kabel melilit di dadanya. Kini, aku melihat wajahnya dari dekat. Ada raut kerinduan yang terpancar dari wajahnya. Wajah pucat dan bibir yang kelu itu hanya tertidur pulas bak bayi baru lahir. aku langsung menangis, meneteskan air mata sejadi jadinya.  Aku ingin berteriak tapi tertahan karena tersadar di dalam ruangan berbau obat-obatan ini aku tak mungkin melakukan hal yang konyol. Dia, sosok yang selama ini mengirimkan berpuluh puluh surat selama sebulan terakhir. Dia, sosok yang selalu tersenyum kepadaku. Dia, sosok yang selama ini menemani dan menerima semua sifat burukku. Dia, Adrian Hirosima Wijaya, pria blasteran Jawa-Jepang itu kini seperti mayat hidup, kurus dan kaku. Ku lihat ada sepucuk surat disamping tempat tidurnya, lalu kubaca isinya. Ada sambungan dari syair lagu kesukaanku...
Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah, bernyanyilah
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan

*****

Sejak hari itu, aku berusaha bangkit dari kesedihan dan akan menjiwai setiap syair lagu band kesukaanku. Sejujurnya, aku belum bisa menerima kehilangan ini. Tapi satu hal yang aku tahu bahwa Tuhan lebih mencintainya dibandingkan rasa cintanya padaku. Dia yang akan selalu ada dihatiku, menjadi sahabat dan pahlawan dalam hidupku. Adrian, sosok yang selalu tersnyum dengan semua celotehanku itu sudah tenang bersama-Nya. Itu lebih baik untuknya jika harus menahan rasa sakit yang membuatnya semakin menderita. Setelah perbincangan ku bersama Abimayu kemarin ada rasa penyesalan dalam diriku karena terlambat menyadari bahwa selama ini Abimayu adalah kakak kandung Adrian. Abimayu mengatakan sebelum Adrian koma, dia menitipkan pesan untuk tetap menjaga dan membuatku untuk selalu bahagia. Selama ini Adrian selalu menyembunyikan tentang penyakitnya, kanker paru-paru yang sudah setahun ini menggerogoti alat vitalnya itu.
Aku merasa belum bisa menjadi sosok sahabat yang baik untuknya. Aku menyesal belum bisa membalas cintanya. Ya, penyesalan itu selalu datang terakhir, bukan?
Sore ini ku lantunkan syair lagu itu di depan pusara yang bertuliskan Adrian Hirosima Wijaya. Aku yakin dia disana tak ingin melihatku bersedih dan semakin larut dalam kejadian ini. Aku harus bahagia seperti syair lagu yang dia kirimkan selama 30 hari kemarin. Lagu kesukaanku,”Dan Bernyanyilah”...terima kasih untukmu, telah menjadi malaikat tak bersayap untukku.





 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh MusikimiaNulisbuku.com dan Storial.co

Kamis, 19 November 2015

Menulis Tanpa Batas

Tulisan ini hanya sekedar iseng-iseng semata. Tulisan ini pun dibuat tidak ada yang sia-sia, tujuan nya adalah untuk memberikan energi positif kepada para pembaca dan penulis, khususnya.
omong-omong soal menulis, saya hanya ingin membagikan pengalaman dan hobi yang telah lama membuat saya jatuh cinta ini. Menulis dan Membaca,
Bagi saya menulis adalah hobi. Menulis adalah kebiasaan. Menulis adalah kehidupan.
Kegilaan saya tentang menulis diawali ketika saya masih berada pada masa plosotan dan jungkat - jungkit menjadi mainan saya. Dulunya saya disuguhkan dengan berbagai majalah anak-anak, Bobo misalnya. Pada taman kanak-kanak saya memang belum bisa membaca selancar saat ini, tapi saya bisa merasa. Saya hanya akan fokus pada warna - warni gambar dan bentuk boneka seperti di negeri dongeng. Saya dulu tidak tertarik dengan bari-baris huruf yang berjejer rapi pada kolomnya. Ya, dulu semasa kanak - kanak saya hanya memikirkan bagaimana menjadi putri Anabell atau Cinderella seperti yang tergambar pada majalah tersebut tanpa tahu maksud dari gambar itu. Ibu saya tentunya tidak menuntut saya pandai membaca pada kala itu, pun beliau tidak mempermasalahkan imajinasi konyol saya. Lalu ketika saya mulai masuk pada tahap mengeja dan membaca huruf demi huruf, kata demi kata, sampai kalimat demi kalimat, akhirnya saya memulai kebiasaan saya yang dulunya hanya melihat gambar-gambar lucu pada majalah beralih dengan membaca judul tulisan yang tertera pada gambar.

"Bobo dan Bibi TiTi Teliti"
"Bona , Gajah Kecil Berbelalai Panjang dan RongRong"

Merekalah teman - teman saya semasa kecil, yang selalu menemani saya sampai pada akhirnya saya mengkhatamkan semua part pada majalah itu.
Kebiasaan tersebut terus menerus dilakukan. Setiap beberapa kali dalam seminggu, ibu dan bapak saya tidak lupa membelikan saya majalah Bobo, karena memang dulunya saya hanya mengenal satu majalah saja, tidak dengan sekarang yang sudah banyak berkembang beraneka ragam majalah seperti, teen, gadis, Aneka yesss dan masih banyak yang lain.

Beriring waktu, kegilaan saya akan Bobo lamban laun mulai luntur. Bukan karena bosan,t api karna usia saya yang sudah mulai menginjak masa - masa labil. Terlebih Bobo kecil saya kini bukanlah Bobo yang saya kenal dulu ( seperti lirik lagu saja, ya?) Ya , beberapa waktu lalu, saya sempat ke toko buku untuk membeli beberapa buku. Rak-rak favorit yang biasanya memampang Bobo kecil saya kian hari kian berkurang, bahkan sering tak tampak lagi. Saya sempat miris melihatnya. Bagaimana dengan anak cucu saya kelak ketika saya ingin kenalkan dengan kenangan masa kecil saya itu kepada mereka? Bagaimana saya mengenalkan hobi saya kepada anak cucu saya jika jejak nya saja kini entah dimana? Bagaimana rasanya melihat mereka tertawa bahagia hanya cuma melihat Bona atau Rongrong? Terlebih cover yang dulunya masih original kini sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Memang tidak ada yang salah. Karena kerasnya persaingan antar beberapa penerbit buku mengharuskan Bobo kecil saya di make over agar tidak kalah saing dengan lawannya. Saya pun memaklumi. 

Sungguh, berkat jasa Bobo kecil saya, hobi membaca semakin hari semakin meningkat. Saya haus akan cerita. Jadilah, sejak saya mulai masuk ke sekolah menengah atas, bacaan saya merambah pada sebuah novel remaja yang berjudul "Hot Chocolate Love". Dari judulnya saja, siapa pun yang membaca sudah bisa menebak genre dan jalan ceritanya. Ya, namanya juga remaja belia, saya saat itu lebih tertarik dengan cerita bergenre romantis, bak film-film FTV atau sinetron yang kini marak ditayangkan pada media elektronik, saya pun mulai berimajinasi untuk menjadi seorang putri millenium yang kehidupannya selalu happy ending. Back to realita, this is just fiction, hanya fiktif belaka. Saya pun menyadari bahwa cerita yang ada di novel tidak sepenuhnya cerita nyata. Hingga kurang lebih 30an novel telah terjejer rapi di rak buku kamar saya. Ada rasa puas melihat mereka yang dulu satu persatu saya beli dengan uang jajan saya sendiri, kini menghiasi lemari buku saya. Saya bangga telah khatam membaca ceritanya. Walaupun di dunia nyata saya tak pernah bisa menjadi seperti yang di cerita novel, tapi saya yakin banyak pelajaran yang memberikan saya agar bisa lebih berarti. 

Dan inilah buktinya..Dengan hobi saya dari jaman bocah ingusan sampe sekarang sudah jadi sarjana, kebiasaan itu tak pernah tinggal. Saya masih suka membeli beberapa buku, yang mungkin sekarang ceritanya sedikit lebih berat. Tidak hanya soal keromantisan, tapi tentang kehidupan yang complicated. Ya, saya menyukai itu. Karena dari cerita-cerita itu membawa saya lebih banyak berimajinasi dan menganalisis setiap part demi part
Semakin kesini saya menyadari bahwa kehausan saya akan bacaan semakin membabi buta. Dan mulailah saya berfikir (sambil berimajinasi) mengenai dunia menulis. Karena menurut saya, menulis adalah lorong yang akan membawa saya ke dunia tanpa batas. Dari menulis, apa yang saya lihat, saya dengar dan saya baca akan lebih tertuangkan pada tempatnya. Mungkin foto adalah bukti otentik yang akan menyimpan banyak kenangan di masa lalu, tapi Tulisan akan menyimpan lebih banyak sejarah di masa lalu, dan sampai kapanpun sejarah itu tetap dikenang oleh siapa saja yang membacanya. Perlahan saya menulis pada sebuah diary, menceritakan mengenai apa yang saya alami setiap hari, lamban laun pada buku catatan kecil saya hingga sekarang, ketika saya mulai mengenal internet, saya salurkan hobi kedua saya melalui Blog. Bagi saya, menulis adalah hidup. Tanpa menulis seseorang tak akan bisa menemukan banyak teman, tanpa menulis seseorang tak bisa melihat dunia luar dan tanpa menulis sesorang tak dapat bernafas. Pahamkah? coba kau artikan saja sendiri maksud saya tadi :):)
Intinya, jangan buang sia -sia semua imajinasi dan mimpi mu. Menulislah apa yang bisa kau tulis. Bahwa di dunia ini semua orang bisa menulis. Hanya saja, cara dan bentuk menulis nya yang berbeda - beda. Apalagi dalam urusan hati, hanya mereka yang berani menulis yang bisa menemukan seseorang yang berarti dalam hidup. Kau tahu kenapa? Karena mereka telah berani mengeksplore  apa yang ada pada dirinya nya sendiri, tidak ingin jadi orang lain, tapi dengan style dan gaya sendiri. Bukankah, yang kau cari adalah dia yang menjadi dirinya sendiri dan mau menerima mu apa adanya? Menulislah.....

Selasa, 17 November 2015

Cinta Berselimut Kabut


Kakiku mulai menapaki jenjang demi jenjang anak tangga di depanku. Dengan perasaan senang bercampur sedih, ku beranikan diri untuk naik ke atas panggung dan menerima piala kemenangan itu. Seharusnya aku berdiri diantara orang – orang yang paling kucintai. Ya, mama dan papa. Tapi hari ini, hanya ada mang Jajang yang setia menemaniku.
“Selamat ya Cinta, Kamu berhasil lagi memenangkan olimpiade ini. Ibu bangga padamu” kata salah seorang guruku sembari menyerahkan piala kemenangan itu padaku
“Terima kasih, Bu” jawabku ketir
“Oh ya, ayah ibumu dimana, Cinta? Apa mereka tidak datang lagi?” tanya ibu Sonya dengan rasa penasaran. Akupun hanya menggeleng. Kemudian setelah sesi pengambilan foto bersama rekan – rekanku yang lain, akhirnya aku turun dari panggung dan menghampiri mang Jajang yang sedang duduk disalah satu bangku penonton.
“Mang, mari kita pulang saja. Sepertinya badan Cinta lagi kurang sehat.” Kataku pada mang Jajang
“Baik,Non. Kelihatannya Non lagi sakit. Non pucat sekali.” Jawabnya panik
“Cinta tidak apa – apa mang. Cinta masih bisa berjalan.” kataku ketika mang Jajang ingin memapahku.
Selama di dalam mobil,  aku sibuk mendengarkan lagu sambil menerawang jauh. Otakku tak henti – hentinya mengeluarkan kembali rekaman tentang kejadian demi kejadian dalam hidupku. Bukan kali pertamanya mama dan papa tidak datang ketika aku berhasil memenangkan lomba. Aku sendiri pun bingung ketika menanyakan alasannya kepada mereka.
“Mama sibuk sekali, sayang. Mama kan cari uang buat Cinta juga. Jadi, Cinta harus mengerti dengan kesibukan mama, ya.”
“Tapi Cinta berhasil memenangkan lomba olimpiade tingkat provinsi, Ma. Cinta ingin mama dan papa datang dan mendampingi Cinta naik ke atas panggung untuk mengambil piala kemenangan itu.”
“Bukannya papa tidak ingin datang, Cinta. Tapi masih banyak proyek yang harus papa kerjakan. Lalu, rapat dengan dewan komisaris dan para klien papa yang tidak bisa papa batalkan begitu saja. Cinta harus mengerti dengan kondisi papa. Papa bekerja keras juga untuk cinta, sayang.” Jelas papa dan mama kepadaku pada saat aku memberitahukan mengenai kemenangan lomba olimpiadeku semalam.
Tak terasa air mataku jatuh saat membayangkan kilas balik percakapanku semalam dengan mama dan papa. Untungnya, lagu yang diputar dalam mobil sedikit keras, sehingga mang Jajang tidak mendengarku sedang menangis saat ini.
                                      *****
Sesampainya aku di rumah, langsung kurebahkan badanku pada kasur yang sedari tadi memanggilku. Aku tidak sendirian di rumah. Ada mang Jajang, supir sekalian tukang kebun di rumahku, tentunya yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi, lalu ada bibi Mimin asisten rumah tangga yang selalu rajin memasakkan makanan lezat untukku. Ah, rasanya telah lama aku tidak mencicipi masakan mama sejak beliau sibuk dengan bisnis berlian bersama rekan kerjanya. Rasanya sudah lama aku tak menghabiskan waktu bersama papa, bercengkrama mengenai pemain bola kesukaan papa dan aku atau hanya sekedar menonton film-film kesukaan kami. Bukannya aku tidak bersyukur dengan keberhasilan papa dan mama, hanya saja aku merasa bahwa mereka telah melupakan kehadiranku dihidup mereka. Setiap pagi aku tidak pernah menjumpai papa dan mama ketika sarapan, bahkan ketika aku hendak tidur, mereka berdua masih saja belum pulang. Aku iri dengan teman – temanku. Beberapa dari mereka diantar oleh kedua orang tuanya ke sekolah, mencium tangan kedua orang tua mereka dan didoakan agar selalu sukses dalam belajar. Sedangkan aku, setiap berangkat ke sekolah, Mang Jajang lah yang mengantar dan menjemputku. Terlintas dibenakku, apakah aku ini anak Mang Jajang bukan anak kedua orang tuaku? Karena, Mang Jajanglah yang lebih perhatian dan sayang kepadaku. Selama pelajaran berlangsung, otakku tak dapat berfikir mengenai deretan angka-angka di depanku, hanya bayangan mama dan papa yang selalu terlintas di fikiranku. Aku benar – benar rindu kedua orang tuaku. Walaupun mereka tinggal satu atap dengaku, tapi rasanya mereka sangat jauh dan tak dapat kugapai. Tiba – tiba bel tanda istirahat berbunyi. Semua teman – temanku berhamburan keluar hendak mencari makan demi mengatasi perut mereka yang keroncong. Sedangkan aku hanya duduk di bangku yang sedari tadi telah mendengar keluh kesahku.
“Hey Cinta, kamu tidak ke kantin?” tanya Aisyah teman sebangku ku
Aku menggeleng, “Tidak Aisyah. Aku sedang tidak nafsu makan.”
“Kamu kenapa Cinta? Tidak biasanya kamu seperti ini. Mana cinta yang selalu ceria dan bersemangat?” jawab Aisyah dengan suara yang bersemangat pula. Aku hanya dapat tersenyum kepadanya. Rasanya ingin kuceritakan masalahku padanya, tapi aku masih ragu. Bukannya aku tidak percaya kepada Aisyah, hanya saja ini masalah keluargaku. Tidak seharusnya teman – temanku tahu tentang aib keluargaku.
“Oh ya, Cinta. Bulan depan, kita ada praktik baca dan hafal ayat Al-Quran. Karena kita sudah kelas tiga, jadi guru-guru agama ingin menambah nilai praktik agama kita sebelum ujian nasional.” Terang Aisyah kepadaku. Aisyah adalah gadis baik, ceria dan cerdas. Baginya untuk menghafal beberapa ayat Al-Quran adalah hobinya dan dia pun tak pernah merasa kesulitan saat harus menyetor ayat kepada guru agama kami. Aku pun banyak belajar darinya. Gadis sederhana nan rendah hati itu selalu sabar membantuku untuk belajar mengaji. Dia tak pernah mencemoohku saat tahu bahwa aku tak pandai mengaji, bahkan dia tak pernah menceritakan tentang kekuranganku ini pada teman – temanku yang lain. Aku kagum dengan Aisyah, walaupun orang tuanya hanya sebagai petani, dia tak malu untuk turun tangan membantu kedua orang tuanya di sawah. Aisyah, sulung dari empat bersaudara itulah yang jadi sahabatku kini, yang selalu mengajarkan aku makna kehidupan dan bersabar.
“Oh ya, aku baru tahu Aisyah”. Jawabku tak bersemangat
“Kamu tenang saja, Cinta. Kita masih punya waktu untuk belajar. Kamu ingatkan waktu bulan lalu kamu juga bisa melewati masa – masa ini? Jadi, tidak ada bedanya dulu dengan sekarang, hanya saja perjuangan dan kerja keras kita harus lebih optimal lagi.” Jelasnya dengan mata berbinar
“InsyaAllah, Aisyah. Kamu bersedia kan membantuku mengaji sampai aku hafal?” tanyaku pada Aisyah yang langsung dijawab dengan anggukan kepalanya tanda setuju.
Sebenarnya aku malu pada diriku sendiri dan Aisyah. Sudah 16 tahun aku hidup di dunia ini, tetapi mengaji saja aku tak pandai. Aku hanya pandai di bidang akademik saja. Sudah banyak kejuaraan olimpiade ku raih, medali-medali emas terpampang manis di dinding kamar, pujian demi pujian dari para guru dan temanku telah banyak kudengar. Ya , mereka hanya melihat apa yang terlihat dari luar, tapi tidak tahu apa yang sedang ku jalani saat ini didalam. Sebentar lagi ulang tahunku yang ke-17 tahun. Aku berharap hidupku berubah seperti dongeng Cinderella. Bukan karena bertemu dengan pria tampan, tapi aku ingin kedua orang tuaku bersatu dan bersamaku seperti dulu lagi.
                                    *****
Malam ini papa dan mama sudah berada di rumah. Aku sempat bingung dengan kehadiran mereka. Bukankah seharusnya aku bahagia ? Lantas mengapa aku masih mempertanyakannya? Segera kutanyakan kepenasaranku pada mama dan papaku yang sedang duduk di ruang santai kami.
“Kamu sudah pulang, sayang? Dari mana sih kok baru pulang malam begini?” tanya mama sambil memeluk ku hangat
“Cinta baru pulang dari rumah teman, Ma. Tadi lagi belajar kelompok. Mama sama papa kok sudah pulang? Biasanya Cinta sudah tidur mama dan papa baru pulang.” Ocehku sambil memasang raut wajah menyindir
“Kamu kok ngomong begitu, sayang. Seharusnya kamu senang dong kami pulang cepet hari ini.”
“iya, Cinta. Papa dan mama memutuskan untuk segera pulang karena ingat lusa kamu akan berulang tahun, bukan? Tanya papa padaku
“Karena alasan itu saja? Sykurlah papa dan mama masih ingat dengan ulang tahunku.” Jawabku dengan senyum kecut
“Apa maksud kamu, sayang? Bukankah memang seharusnya orang tua ingat dengan ulang tahun anaknya? Kamu mau hadiah apa di hari ulang tahunmu nanti ?” tanya mama bersemangat
“Apakah mama dan papa janji untuk menepatinya nanti?” tanyaku
“Pasti sayang. Apapaun yang kamu minta akan kami tepati. Bukankah selama ini, kami selalu mengabulkan permintaanmu, kan? Buat apa kami kerja keras siang dan malam kalau bukan untuk kamu, Cinta.” Jelas papa antusias
“Baiklah. Cinta tidak minta apa-apa Ma, Pa. Hanya saja, Cinta tidak ingin tinggal di kuburan ini.” kataku dengan suara yang nyaris tak terdengar
“Apa maksud permintaanmu, Cinta? Siapa yang meninggalkanmu di kuburan? Bukankah kamu tinggal di rumah kita yang mewah ini. Kamu jangan membuat papa marah, Cinta.” Jawab papa dengan nada suara meninggi
“Tapi papa dan mama telah berjanji akan menepatinya, kan? Cinta akan berusia 17 tahun lusa nanti. Dan sejak selama itu pula Cinta tidak pernah mendengar papa dan mama membaca Al-Quran. Kata Aisyah, rumah yang tidak pernah dibacakan Al-Quran didalamnya adalah seperti kuburan. Cinta tidak ingin tinggal di kuburan, Pa,Ma. Bahkan papa dan mama tidak pernah mengajarkan Cinta bagaimana membaca Al-Quran. Apa Cinta salah, Ma?” jelasku dengan air mata yang tak bisa kutahan. Aku menangis. Aku menangis di hadapan mama dan papa. Teringat pertanyaan Aisyah padaku saat mengajarkan aku mengaji kemarin sore.
“Cinta, boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?” tanyanya
“Silakan, Aisyah. Kamu mau bertanya tentang hukum Mendel apa hukum Archimedes?” jawabku dengan tersenyum padanya
“Bukan soal itu, Cinta. Semua mengakui kalau kamu jago dalam urusan itu. Aku tidak akan mempertanyakan itu lagi. Hanya saja, aku penasaran mengenai kedua orang tuamu. Maaf sebelumnya, Cinta, Aku tidak pernah melihat kedua orang tuamu mengantarkan kamu ke sekolah. Aku hanya melihat mang Jajang yang selalu antar jemput kamu. Apakah orang tuamu sangat sibuk ya Cinta?” tanyanya dengan hati-hati
“Iya Aisyah. Mereka sangat sibuk sampai tidak ingat aku lagi. Mereka begitu mencintai pekerjaannya dibandingkan aku, anaknya. Mereka lebih perhatian pada rapat dewan direksi dibandingkan kesehatanku. Bahkan mereka hampir lupa kalau matahari telah kembali dalam peraduannya. Orang tuaku selalu saja pergi ketika aku belum terbangun dan kembali ke rumah ketika aku telah tertidur.” Jawabku murung
“Maafkan aku,Cinta. Tidak seharusnya aku menanyakan ini kepadamu. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Maafkan aku,ya.” Jawabnya buru-buru
“Tidak apa – apa, Aisyah. Wajar kalau kamu menanyakannya. Siapa saja yang melihatku pasti akan menanyakan hal yang sama sepertimu. Kamu beruntung punya kedua orang tua yang perhatian dan sayang padamu. Aku iri melihatmu yang setiap pagi diantar ke sekolah oleh ayahmu.” Jelasku pada Aisyah sambil menahan air yang hampir jatuh di pelupuk mataku.
“Kamu tidak boleh seperti itu, Cinta. Aku yakin, orang tuamu juga sayang dan perhatian padamu, cuma caranya saja yang salah. Orang tua mana sih yang tidak sayang pada anaknya sendiri? Seharusnya kamu bersyukur, Cinta, selalu berkecukupan, cerdas dan juga cantik. Masih banyak mereka di luar sana yang tidak seberuntung kamu.” senyum Aisyah padaku. Aisyah selalu saja dapat menenangkan fikiran dan hatiku.
“Kamu harus selalu mendoakan orang tuamu agar mereka selalu dijaga oleh-Nya dan rajin-rajin membaca Al-Quran juga di rumah, ya. Karena menurut buku yang pernah aku baca, rumah yang tidak pernah dibacakan Al-Quran di dalamnya itu layaknya kuburan. Walaupun menurut orang-orang di luar sana melihat rumah kita yang bagus dan mewah seperti istana, tapi mereka tidak tahu bahwa dimata Rasulullah rumah itu seperti kuburan.” jelasnya padaku. Aku tercengang mendengar penjelasan Aisyah. Bahkan mama dan papa saja tidak pernah mengajarkan aku mengenai ini. Aku merasa sangat tertinggal jauh dibandingkan Aisyah.
                                *****
“Apa tidak cukup dengan semua yang telah kami berikan padamu, nak. Mengapa kamu sampai berfikiran seperti itu?” tanya mama padaku
“Selama ini Cinta sudah banyak memendamnya. Cinta berusaha memaklumi dan mengerti mama dan papa. Tapi Cinta juga manusia biasa, Ma. Cinta juga membutuhkan kasih sayang mama dan papa. Apa tujuan mama memberikan nama “Cinta” kalau pada akhirnya Cinta kekurangan cinta dari mama dan papa?” tanyaku pada mama yang sedari tadi telah menangis di hadapanku
“Mama sayang kamu, nak. Mama cinta kamu. Selama ini mama dan papa kerja untuk kebahagiaan kamu agar kamu tidak kekurangan apapun.” Jawab mama disela isak tangisnya
“Cinta tidak butuh kebahagiaan materi, Ma. Kalau pada akhirnya materi lah yang membuat kita menjadi budaknya. Sampai kapan materi akan bertahan ? toh, semua yang kita miliki akan kembali pada penciptanya. Tapi kasih sayang dan cinta akan bertahan dan menuntun kita untuk mencapai cinta-Nya. Cinta hanya butuh kebahagiaan dari kehadiran mama dan papa disamping Cinta. Apa itu sulit ?” Aku benar – benar tidak peduli dengan kemarahan papa kepadaku. Kalau setelah ini papa akan mengusirku, aku rela. Setidaknya, apa yang selama ini tertahankan di hati telah aku keluarkan.
                                            *****
Aku memberanikan diri melihat wajah papa yang sedari tadi diam disalah satu sofa di hadapanku. Tampak raut wajah yang lelah dan gelisah. Garis-garis halus yang mengelilingi mata papa menunjukkan bahwa papa yang dulunya bisa ku andalkan kini telah lanjut usia. Baru sekarang aku bisa melihat papa sedekat ini. Rambutnya yang kian hari kian memutih dan urat – urat syarafnya yang tampak menonjol menunjukkan bahwa papa sedang banyak fikiran saat ini.
“Maafkan papa, Cinta. Maafkan papa” jawab papa tiba – tiba
Sontak aku kaget dan berusaha mendongakkan kepalaku untuk melihat papa. Kini kulihat papa mulai menangis. Wajahnya mulai memerah menahan apa yang dirasakannya.
“Mungkin apa yang dikatakan olehmu semuanya benar. Papa dan mama selama ini selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing sampai tidak mengindahkanmu. Bahkan sekedar bertegur sapa setiap pagi saja sulit untuk kita lakukan. Papa bersalah, Cinta. Maafkan, papa.” Jelas papa dengan berlinangan air mata
“Papa....”
“Dulu papa dan mama memberikan namamu “Cinta” agar kamu tidak kekurangan cinta dari semua orang terutama dari kami. Papa ingin kamu tumbuh dengan cinta dari kami dan menjadi gadis remaja yang berguna untuk banyak orang serta dapat memberikan cintamu pada mereka di luar sana. Tapi kini, papa lupa dengan tujuan papa sendiri memberikanmu nama itu.”
Aku mendengarkan penjelasan papa. Tangisku telah berhenti sejak papa memulai percakapannya.
“Selama ini kami hanya memberikanmu kemewahan yang berlimpah. Apa saja yang kamu butuhkan selalu saja kami penuhi sehingga kami lupa kewajiban utama kami sebagai orang tua.” Tutur papa dengan suara bergetar
“Cinta, maafkan kami yang belum bisa menjadi orang tua yang baik buat kamu. Maukah kamu memulai semuanya dari awal, nak? Papa dan mama berjanji akan berubah dan lebih perhatian lagi kepadamu. Dan kita juga akan sama – sama belajar membaca Al-Quran seperti permintaanmu tadi,nak.” Jawab papa yang disambut senyum tulus mama
“Maafkan Cinta juga, Ma,Pa. Kalau selama ini Cinta juga belum bisa menjadi anak yang baik. Cinta mau memulai semuanya dari awal,Pa. Cinta tidak butuh kemewahan. Cinta tidak butuh mobil bagus kalau saja papa dan mama selalu ada di samping cinta, sarapan dan makan malam bersama.” Pintaku pada papa
“Tentu,nak. Semuanya akan kita ubah sesuai garisnya. Kalau suatu hari nanti papa dan mama khilaf dan melakukan kesalahan yang sama, kamu bersedia menegur dan memberitahukan kami,kan?” tanya mama haru
“InsyaAllah,Ma.” langsung kudekap mama disampingku yang langsung disambut pelukan papa padaku dan mama
“Oh ya satu lagi, bisakah kamu membawa Aisyah ke rumah kita untuk dikenalkan kepada mama dan papa,nak? Papa ingin kenal gadis yang telah banyak mengajarkan putri papa ini menjadi dewasa, baik sikap dan perbuatannya.” Senyum papa tulus
“Siap,Pa. Besok, setelah pulang sekolah, Cinta akan mengajak Aisyah untuk main ke rumah kita.” Senyumku yang langsung dibalas dengan anggukan mama dan papa.
                                       *****
Aku bersyukur bahwa kejujuran ku disambut baik oleh papa dan mama. Mungkin keberadaan papa dan mama adalah kado terindah yang aku dapatkan di hari ulang tahunku nanti, bukan mobil mewah ataupun gadget baru. Cukup cinta dan kasih sayang dari ke dua orang yang paling aku cintai. Terima kasih Tuhan telah menunjukkan semuanya dan terima kasih Aisyah telah membantu menyadarkan.



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Kamis, 05 November 2015

Tears of hurt


Aku tidak pernah sedih sebelumnya bahkan ketika putus cinta atau ditolak cintanya, Tapi aku akan benar – benar sedih ketika orang – orang yang aku sayangi pergi menjauh, tidak peduli atau marah kepadaku. Rasanya begitu sakit ketika tahu mereka tidak ada dikehidupan kita lagi rasanya bagai dihantam oleh batu karang yang sangat besar sehingga mampu meninggalkan bekas luka yang yang sangat lama. Entahlah, rasanya sulit aku mendeskripsikannya.

Aku tidak pernah meneteskan airmata tanpa sebab yang benar – benar membuatku menangis. Kalau kamu tanya, apakah aku menangis ketika diputuskan oleh seseorang ? jawabannya TIDAK. Namun, ketika ada seorang sahabat yang marah kepadaku karena sifat dan sikap yang aku lakukan, mungkin dengan spontannya aku akan meneteskan air mata ini sejadi – jadinya. Begitu sakit. Begitu perih. Terlebih ketika persahabatan yang telah kamu jalin begitu lama perlu diuji kesetiaannya? Hati siapa yang tidak sakit ketika kepercayaan itu harus teruji dengan hal – hal konyol yang dilakukan hanya untuk melihat sejauh mana dia akan percaya dan setia ? aku bukan tipe yang dengan mudah meneteskan air mata untuk hal – hal konyol, walaupun terkadang suka menangis ketika menonton sinetron atau drama korea, tapi rasa sakit ketika menangis dalam menonton sinetron itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit ketika ada seorang sahabat yang marah atau menangis karena kita. Aku tipe yang mudah terenyuh ketika melihat orang lain menangis. Aku tipe melankolis. Yang katanya melankolis lebih mengandalkan pemikirannya, tapi aku tidak. Bagiku pemikiran dan perasaanku sama saja. Aku mudah rapuh, tapi aku mudah bangkit kembali ketika terpuruk.


Ah, entahlah sudah sejauh ini aku merasa belum bisa melakukan yang terbaik untuk semua orang. Karena menurut mereka, apa yang telah aku lakukan perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu. Tidak cukupkah mereka percaya kapadaku saja? Tidak cukupkah mereka tahu nama dan ceritaku saja? Lalu apa yang diperlukan lagi? Tidakkah, persahabatan membutuhkan kepercayaan dan kesetiaan? Yah aku tahu itu. Sudah berapa lama kita saling mengenal ? tidak cukupkah waktu yang menjadi saksi kisah persahabatan kita? Aku benar – benar sakit kali ini. Dulu aku tak begini. Karena hanya orang –orang yang sangat aku sayangi bisa menjadikanku seperti ini. Bukan kekasih ku ataupun gebetanku yang menyakitiku. Punya saja tidak. Mungkin juga kali ini aku terlalu sensitif. Aku terlalu rapuh oleh ujian dunia. Tapi itu belum seberapa. Seharusnya aku harus bersyukur dengan ujian itu, karena dengan begitu aku harus kuat, aku harus tegar ketika mereka yang aku percaya, satu persatu nanti nya akan pergi dari kehidupanku, setidaknya aku sudah siap...




Dear, kamu...yang (masih) menjadi Sahabatku
jangan lupa dikomen dan diberi saran yaaterima kasih sudah berkunjung, jangan bosan - bosan datang lagi yaa