Kakiku mulai menapaki jenjang
demi jenjang anak tangga di depanku. Dengan perasaan senang bercampur sedih, ku
beranikan diri untuk naik ke atas panggung dan menerima piala kemenangan itu.
Seharusnya aku berdiri diantara orang – orang yang paling kucintai. Ya, mama
dan papa. Tapi hari ini, hanya ada mang Jajang yang setia menemaniku.
“Selamat ya Cinta, Kamu berhasil
lagi memenangkan olimpiade ini. Ibu bangga padamu” kata salah seorang guruku
sembari menyerahkan piala kemenangan itu padaku
“Terima kasih, Bu” jawabku ketir
“Oh ya, ayah ibumu dimana, Cinta?
Apa mereka tidak datang lagi?” tanya ibu Sonya dengan rasa penasaran. Akupun
hanya menggeleng. Kemudian setelah sesi pengambilan foto bersama rekan –
rekanku yang lain, akhirnya aku turun dari panggung dan menghampiri mang Jajang
yang sedang duduk disalah satu bangku penonton.
“Mang, mari kita pulang saja.
Sepertinya badan Cinta lagi kurang sehat.” Kataku pada mang Jajang
“Baik,Non. Kelihatannya Non lagi
sakit. Non pucat sekali.” Jawabnya panik
“Cinta tidak apa – apa mang.
Cinta masih bisa berjalan.” kataku ketika mang Jajang ingin memapahku.
Selama di dalam mobil, aku sibuk mendengarkan lagu sambil menerawang
jauh. Otakku tak henti – hentinya mengeluarkan kembali rekaman tentang kejadian
demi kejadian dalam hidupku. Bukan kali pertamanya mama dan papa tidak datang
ketika aku berhasil memenangkan lomba. Aku sendiri pun bingung ketika
menanyakan alasannya kepada mereka.
“Mama sibuk sekali, sayang. Mama
kan cari uang buat Cinta juga. Jadi, Cinta harus mengerti dengan kesibukan
mama, ya.”
“Tapi Cinta berhasil memenangkan
lomba olimpiade tingkat provinsi, Ma. Cinta ingin mama dan papa datang dan
mendampingi Cinta naik ke atas panggung untuk mengambil piala kemenangan itu.”
“Bukannya papa tidak ingin
datang, Cinta. Tapi masih banyak proyek yang harus papa kerjakan. Lalu, rapat
dengan dewan komisaris dan para klien papa yang tidak bisa papa batalkan begitu
saja. Cinta harus mengerti dengan kondisi papa. Papa bekerja keras juga untuk
cinta, sayang.” Jelas papa dan mama kepadaku pada saat aku memberitahukan
mengenai kemenangan lomba olimpiadeku semalam.
Tak terasa air mataku jatuh saat
membayangkan kilas balik percakapanku semalam dengan mama dan papa. Untungnya,
lagu yang diputar dalam mobil sedikit keras, sehingga mang Jajang tidak
mendengarku sedang menangis saat ini.
*****
Sesampainya aku di rumah,
langsung kurebahkan badanku pada kasur yang sedari tadi memanggilku. Aku tidak sendirian di rumah. Ada
mang Jajang, supir sekalian tukang kebun di rumahku, tentunya yang selalu setia
menemani kemanapun aku pergi, lalu ada bibi Mimin asisten rumah tangga yang
selalu rajin memasakkan makanan lezat untukku. Ah, rasanya telah lama aku tidak
mencicipi masakan mama sejak beliau sibuk dengan bisnis berlian bersama rekan
kerjanya. Rasanya sudah lama aku tak menghabiskan waktu bersama papa,
bercengkrama mengenai pemain bola kesukaan papa dan aku atau hanya sekedar
menonton film-film kesukaan kami. Bukannya aku tidak bersyukur dengan
keberhasilan papa dan mama, hanya saja aku merasa bahwa mereka telah melupakan
kehadiranku dihidup mereka. Setiap pagi aku tidak pernah menjumpai papa dan
mama ketika sarapan, bahkan ketika aku hendak tidur, mereka berdua masih saja
belum pulang. Aku iri dengan teman – temanku. Beberapa dari mereka diantar oleh
kedua orang tuanya ke sekolah, mencium tangan kedua orang tua mereka dan
didoakan agar selalu sukses dalam belajar. Sedangkan aku, setiap berangkat ke
sekolah, Mang Jajang lah yang mengantar dan menjemputku. Terlintas dibenakku,
apakah aku ini anak Mang Jajang bukan anak kedua orang tuaku? Karena, Mang
Jajanglah yang lebih perhatian dan sayang kepadaku. Selama pelajaran
berlangsung, otakku tak dapat berfikir mengenai deretan angka-angka di depanku,
hanya bayangan mama dan papa yang selalu terlintas di fikiranku. Aku benar –
benar rindu kedua orang tuaku. Walaupun mereka tinggal satu atap dengaku, tapi
rasanya mereka sangat jauh dan tak dapat kugapai. Tiba – tiba bel tanda
istirahat berbunyi. Semua teman – temanku berhamburan keluar hendak mencari
makan demi mengatasi perut mereka yang keroncong. Sedangkan aku hanya duduk di
bangku yang sedari tadi telah mendengar keluh kesahku.
“Hey Cinta, kamu tidak ke
kantin?” tanya Aisyah teman sebangku ku
Aku menggeleng, “Tidak Aisyah.
Aku sedang tidak nafsu makan.”
“Kamu kenapa Cinta? Tidak
biasanya kamu seperti ini. Mana cinta yang selalu ceria dan bersemangat?” jawab
Aisyah dengan suara yang bersemangat pula. Aku hanya dapat tersenyum kepadanya.
Rasanya ingin kuceritakan masalahku padanya, tapi aku masih ragu. Bukannya aku
tidak percaya kepada Aisyah, hanya saja ini masalah keluargaku. Tidak
seharusnya teman – temanku tahu tentang aib keluargaku.
“Oh ya, Cinta. Bulan depan, kita
ada praktik baca dan hafal ayat Al-Quran. Karena kita sudah kelas tiga, jadi
guru-guru agama ingin menambah nilai praktik agama kita sebelum ujian
nasional.” Terang Aisyah kepadaku. Aisyah adalah gadis baik, ceria dan cerdas.
Baginya untuk menghafal beberapa ayat Al-Quran adalah hobinya dan dia pun tak
pernah merasa kesulitan saat harus menyetor ayat kepada guru agama kami. Aku
pun banyak belajar darinya. Gadis sederhana nan rendah hati itu selalu sabar
membantuku untuk belajar mengaji. Dia tak pernah mencemoohku saat tahu bahwa
aku tak pandai mengaji, bahkan dia tak pernah menceritakan tentang kekuranganku
ini pada teman – temanku yang lain. Aku kagum dengan Aisyah, walaupun orang
tuanya hanya sebagai petani, dia tak malu untuk turun tangan membantu kedua
orang tuanya di sawah. Aisyah, sulung dari empat bersaudara itulah yang jadi
sahabatku kini, yang selalu mengajarkan aku makna kehidupan dan bersabar.
“Oh ya, aku baru tahu Aisyah”.
Jawabku tak bersemangat
“Kamu tenang saja, Cinta. Kita
masih punya waktu untuk belajar. Kamu ingatkan waktu bulan lalu kamu juga bisa
melewati masa – masa ini? Jadi, tidak ada bedanya dulu dengan sekarang, hanya
saja perjuangan dan kerja keras kita harus lebih optimal lagi.” Jelasnya dengan
mata berbinar
“InsyaAllah, Aisyah. Kamu
bersedia kan membantuku mengaji sampai aku hafal?” tanyaku pada Aisyah yang
langsung dijawab dengan anggukan kepalanya tanda setuju.
Sebenarnya aku malu pada diriku
sendiri dan Aisyah. Sudah 16 tahun aku hidup di dunia ini, tetapi mengaji saja
aku tak pandai. Aku hanya pandai di bidang akademik saja. Sudah banyak kejuaraan
olimpiade ku raih, medali-medali emas terpampang manis di dinding kamar, pujian
demi pujian dari para guru dan temanku telah banyak kudengar. Ya , mereka hanya
melihat apa yang terlihat dari luar, tapi tidak tahu apa yang sedang ku jalani
saat ini didalam. Sebentar lagi ulang tahunku yang ke-17 tahun. Aku berharap
hidupku berubah seperti dongeng Cinderella. Bukan karena bertemu dengan pria
tampan, tapi aku ingin kedua orang tuaku bersatu dan bersamaku seperti dulu
lagi.
*****
Malam ini papa dan mama sudah
berada di rumah. Aku sempat bingung dengan kehadiran mereka. Bukankah seharusnya
aku bahagia ? Lantas mengapa aku masih mempertanyakannya? Segera kutanyakan
kepenasaranku pada mama dan papaku yang sedang duduk di ruang santai kami.
“Kamu sudah pulang, sayang? Dari
mana sih kok baru pulang malam begini?” tanya mama sambil memeluk ku hangat
“Cinta baru pulang dari rumah
teman, Ma. Tadi lagi belajar kelompok. Mama sama papa kok sudah pulang?
Biasanya Cinta sudah tidur mama dan papa baru pulang.” Ocehku sambil memasang
raut wajah menyindir
“Kamu kok ngomong begitu, sayang.
Seharusnya kamu senang dong kami pulang cepet hari ini.”
“iya, Cinta. Papa dan mama
memutuskan untuk segera pulang karena ingat lusa kamu akan berulang tahun,
bukan? Tanya papa padaku
“Karena alasan itu saja? Sykurlah
papa dan mama masih ingat dengan ulang tahunku.” Jawabku dengan senyum kecut
“Apa maksud kamu, sayang?
Bukankah memang seharusnya orang tua ingat dengan ulang tahun anaknya? Kamu mau
hadiah apa di hari ulang tahunmu nanti ?” tanya mama bersemangat
“Apakah mama dan papa janji untuk
menepatinya nanti?” tanyaku
“Pasti sayang. Apapaun yang kamu
minta akan kami tepati. Bukankah selama ini, kami selalu mengabulkan
permintaanmu, kan? Buat apa kami kerja keras siang dan malam kalau bukan untuk
kamu, Cinta.” Jelas papa antusias
“Baiklah. Cinta tidak minta
apa-apa Ma, Pa. Hanya saja, Cinta tidak ingin tinggal di kuburan ini.” kataku
dengan suara yang nyaris tak terdengar
“Apa maksud permintaanmu, Cinta?
Siapa yang meninggalkanmu di kuburan? Bukankah kamu tinggal di rumah kita yang
mewah ini. Kamu jangan membuat papa marah, Cinta.” Jawab papa dengan nada suara
meninggi
“Tapi papa dan mama telah
berjanji akan menepatinya, kan? Cinta akan berusia 17 tahun lusa nanti. Dan
sejak selama itu pula Cinta tidak pernah mendengar papa dan mama membaca
Al-Quran. Kata Aisyah, rumah yang tidak pernah dibacakan Al-Quran didalamnya
adalah seperti kuburan. Cinta tidak ingin tinggal di kuburan, Pa,Ma. Bahkan
papa dan mama tidak pernah mengajarkan Cinta bagaimana membaca Al-Quran. Apa Cinta
salah, Ma?” jelasku dengan air mata yang tak bisa kutahan. Aku menangis. Aku
menangis di hadapan mama dan papa. Teringat pertanyaan Aisyah padaku saat
mengajarkan aku mengaji kemarin sore.
“Cinta, boleh aku bertanya sesuatu
kepadamu?” tanyanya
“Silakan, Aisyah. Kamu mau
bertanya tentang hukum Mendel apa hukum Archimedes?” jawabku dengan tersenyum
padanya
“Bukan soal itu, Cinta. Semua
mengakui kalau kamu jago dalam urusan itu. Aku tidak akan mempertanyakan itu
lagi. Hanya saja, aku penasaran mengenai kedua orang tuamu. Maaf sebelumnya,
Cinta, Aku tidak pernah melihat kedua orang tuamu mengantarkan kamu ke sekolah.
Aku hanya melihat mang Jajang yang selalu antar jemput kamu. Apakah orang tuamu
sangat sibuk ya Cinta?” tanyanya dengan hati-hati
“Iya Aisyah. Mereka sangat sibuk
sampai tidak ingat aku lagi. Mereka begitu mencintai pekerjaannya dibandingkan
aku, anaknya. Mereka lebih perhatian pada rapat dewan direksi dibandingkan
kesehatanku. Bahkan mereka hampir lupa kalau matahari telah kembali dalam
peraduannya. Orang tuaku selalu saja pergi ketika aku belum terbangun dan
kembali ke rumah ketika aku telah tertidur.” Jawabku murung
“Maafkan aku,Cinta. Tidak
seharusnya aku menanyakan ini kepadamu. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih.
Maafkan aku,ya.” Jawabnya buru-buru
“Tidak apa – apa, Aisyah. Wajar
kalau kamu menanyakannya. Siapa saja yang melihatku pasti akan menanyakan hal
yang sama sepertimu. Kamu beruntung punya kedua orang tua yang perhatian dan
sayang padamu. Aku iri melihatmu yang setiap pagi diantar ke sekolah oleh
ayahmu.” Jelasku pada Aisyah sambil menahan air yang hampir jatuh di pelupuk
mataku.
“Kamu tidak boleh seperti itu,
Cinta. Aku yakin, orang tuamu juga sayang dan perhatian padamu, cuma caranya
saja yang salah. Orang tua mana sih yang tidak sayang pada anaknya sendiri?
Seharusnya kamu bersyukur, Cinta, selalu berkecukupan, cerdas dan juga cantik.
Masih banyak mereka di luar sana yang tidak seberuntung kamu.” senyum Aisyah
padaku. Aisyah selalu saja dapat menenangkan fikiran dan hatiku.
“Kamu harus selalu mendoakan
orang tuamu agar mereka selalu dijaga oleh-Nya dan rajin-rajin membaca Al-Quran
juga di rumah, ya. Karena menurut buku yang pernah aku baca, rumah yang tidak
pernah dibacakan Al-Quran di dalamnya itu layaknya kuburan. Walaupun menurut
orang-orang di luar sana melihat rumah kita yang bagus dan mewah seperti istana,
tapi mereka tidak tahu bahwa dimata Rasulullah rumah itu seperti kuburan.”
jelasnya padaku. Aku tercengang mendengar penjelasan Aisyah. Bahkan mama dan
papa saja tidak pernah mengajarkan aku mengenai ini. Aku merasa sangat
tertinggal jauh dibandingkan Aisyah.
*****
“Apa tidak cukup dengan semua
yang telah kami berikan padamu, nak. Mengapa kamu sampai berfikiran seperti itu?”
tanya mama padaku
“Selama ini Cinta sudah banyak
memendamnya. Cinta berusaha memaklumi dan mengerti mama dan papa. Tapi Cinta
juga manusia biasa, Ma. Cinta juga membutuhkan kasih sayang mama dan papa. Apa
tujuan mama memberikan nama “Cinta” kalau pada akhirnya Cinta kekurangan cinta
dari mama dan papa?” tanyaku pada mama yang sedari tadi telah menangis di
hadapanku
“Mama sayang kamu, nak. Mama
cinta kamu. Selama ini mama dan papa kerja untuk kebahagiaan kamu agar kamu
tidak kekurangan apapun.” Jawab mama disela isak tangisnya
“Cinta tidak butuh kebahagiaan
materi, Ma. Kalau pada akhirnya materi lah yang membuat kita menjadi budaknya.
Sampai kapan materi akan bertahan ? toh,
semua yang kita miliki akan kembali pada penciptanya. Tapi kasih sayang dan
cinta akan bertahan dan menuntun kita untuk mencapai cinta-Nya. Cinta hanya
butuh kebahagiaan dari kehadiran mama dan papa disamping Cinta. Apa itu sulit
?” Aku benar – benar tidak peduli dengan kemarahan papa kepadaku. Kalau setelah
ini papa akan mengusirku, aku rela. Setidaknya, apa yang selama ini tertahankan
di hati telah aku keluarkan.
*****
Aku memberanikan diri melihat
wajah papa yang sedari tadi diam disalah satu sofa di hadapanku. Tampak raut
wajah yang lelah dan gelisah. Garis-garis halus yang mengelilingi mata papa
menunjukkan bahwa papa yang dulunya bisa ku andalkan kini telah lanjut usia.
Baru sekarang aku bisa melihat papa sedekat ini. Rambutnya yang kian hari kian
memutih dan urat – urat syarafnya yang tampak menonjol menunjukkan bahwa papa
sedang banyak fikiran saat ini.
“Maafkan papa, Cinta. Maafkan
papa” jawab papa tiba – tiba
Sontak aku kaget dan berusaha
mendongakkan kepalaku untuk melihat papa. Kini kulihat papa mulai menangis.
Wajahnya mulai memerah menahan apa yang dirasakannya.
“Mungkin apa yang dikatakan
olehmu semuanya benar. Papa dan mama selama ini selalu sibuk dengan pekerjaan
masing-masing sampai tidak mengindahkanmu. Bahkan sekedar bertegur sapa setiap
pagi saja sulit untuk kita lakukan. Papa bersalah, Cinta. Maafkan, papa.” Jelas
papa dengan berlinangan air mata
“Papa....”
“Dulu papa dan mama memberikan namamu “Cinta” agar kamu tidak kekurangan cinta dari semua orang terutama dari kami. Papa ingin kamu tumbuh dengan cinta dari kami dan menjadi gadis remaja yang berguna untuk banyak orang serta dapat memberikan cintamu pada mereka di luar sana. Tapi kini, papa lupa dengan tujuan papa sendiri memberikanmu nama itu.”
“Dulu papa dan mama memberikan namamu “Cinta” agar kamu tidak kekurangan cinta dari semua orang terutama dari kami. Papa ingin kamu tumbuh dengan cinta dari kami dan menjadi gadis remaja yang berguna untuk banyak orang serta dapat memberikan cintamu pada mereka di luar sana. Tapi kini, papa lupa dengan tujuan papa sendiri memberikanmu nama itu.”
Aku mendengarkan penjelasan papa.
Tangisku telah berhenti sejak papa memulai percakapannya.
“Selama ini kami hanya
memberikanmu kemewahan yang berlimpah. Apa saja yang kamu butuhkan selalu saja
kami penuhi sehingga kami lupa kewajiban utama kami sebagai orang tua.” Tutur
papa dengan suara bergetar
“Cinta, maafkan kami yang belum
bisa menjadi orang tua yang baik buat kamu. Maukah kamu memulai semuanya dari
awal, nak? Papa dan mama berjanji akan berubah dan lebih perhatian lagi
kepadamu. Dan kita juga akan sama – sama belajar membaca Al-Quran seperti
permintaanmu tadi,nak.” Jawab papa yang disambut senyum tulus mama
“Maafkan Cinta juga, Ma,Pa. Kalau
selama ini Cinta juga belum bisa menjadi anak yang baik. Cinta mau memulai
semuanya dari awal,Pa. Cinta tidak butuh kemewahan. Cinta tidak butuh mobil
bagus kalau saja papa dan mama selalu ada di samping cinta, sarapan dan makan
malam bersama.” Pintaku pada papa
“Tentu,nak. Semuanya akan kita
ubah sesuai garisnya. Kalau suatu hari nanti papa dan mama khilaf dan melakukan
kesalahan yang sama, kamu bersedia menegur dan memberitahukan kami,kan?” tanya
mama haru
“InsyaAllah,Ma.” langsung kudekap
mama disampingku yang langsung disambut pelukan papa padaku dan mama
“Oh ya satu lagi, bisakah kamu
membawa Aisyah ke rumah kita untuk dikenalkan kepada mama dan papa,nak? Papa
ingin kenal gadis yang telah banyak mengajarkan putri papa ini menjadi dewasa,
baik sikap dan perbuatannya.” Senyum papa tulus
“Siap,Pa. Besok, setelah pulang
sekolah, Cinta akan mengajak Aisyah untuk main ke rumah kita.” Senyumku yang
langsung dibalas dengan anggukan mama dan papa.
*****
Aku bersyukur bahwa kejujuran ku
disambut baik oleh papa dan mama. Mungkin keberadaan papa dan mama adalah kado
terindah yang aku dapatkan di hari ulang tahunku nanti, bukan mobil mewah
ataupun gadget baru. Cukup cinta dan
kasih sayang dari ke dua orang yang paling aku cintai. Terima kasih Tuhan telah
menunjukkan semuanya dan terima kasih Aisyah telah membantu menyadarkan.
0 komentar:
Posting Komentar